Sejak program rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) digulirkan lima tahun lalu, banyak siswa berebut ingin masuk kelas istimewa itu. Di berbagai daerah, animo masyarakat juga terus meningkat. Tahun ini Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) bakal mengevaluasi program tersebut secara menyeluruh. Seperti apa?
Di Surabaya, program RSBI bak kue lezat yang terus diperebutkan. Padahal, manfaat program itu sejatinya belum terlihat benar. Karena itu, tahun ini Kemendiknas bermaksud mengevaluasi lebih dari seribu sekolah yang ditunjuk sebagai RSBI
Wajar jika Kemendiknas akhirnya mengevaluasi program itu. Betapa tidak, setiap sekolah yang ditunjuk sebagai RSBI mendapat subsidi sekitar Rp 300 juta hingga Rp 400 juta per tahun.
Sementara, hingga 2010 ini pemerintah pusat menargetkan tiap kabupaten/kota minimal memiliki satu RSBI jenjang SD, SMP, dan SMA/SMK. Artinya, tahun ini pemerintah harus memenuhi target memiliki masing-masing 400 SD, SMP, dan SMA RSBI. Tak heran, jika tiap tahun pemerintah menunjuk 100 sekolah RSBI baru untuk masing-masing jenjang pendidikan.
Di Surabaya, total ada 12 sekolah yang ditunjuk sebagai RSBI. Yakni, SMPN 1, SMPN 6, SMAN 2, SMAN 5, SMAN 15, dan tujuh SMKN. Tahun ini merupakan tahun kelima program RSBI untuk jenjang SMA dan empat tahun untuk SMP. Bulan ini Kemendiknas menyurvei satu per satu sekolah tersebut. Karena faktanya, tak banyak siswa lulusan RSBI, terutama dari jenjang SMA, yang memilih melanjutkan studi ke luar negeri.
Data dari beberapa RSBI di Surabaya menyebut, hanya 1-10 siswa yang memilih melajutkan pendidikan ke luar negeri. Padahal, salah satu tujuan dibentuknya program itu adalah memudahkan siswa melanjutkan sekolah ke luar negeri.
Mendiknas M. Nuh mengatakan, penyelenggaran sekolah berstandar internasional (SBI) merupakan amanat UU Sisdiknas. "Jadi, penyelenggaraannya memang wajib. Tujuannya, meningkatkan kualitas pendidikan," jelasnya. RSBI tidak bisa disamakan dengan SBI. Karena masih bersifat rintisan, wajar jika standar yang diharapkan belum seperti SBI.
Karena itu, kata Nuh, pemerintah pusat melakukan evaluasi menyeluruh terhadap penyelenggaraan RSBI. Mulai SD hingga SMA/SMK.
Nuh menjelaskan, ada empat kriteria penilaian. Pertama, akuntabilitas. Yakni, menyangkut administrasi manajemen pengelolaan. "Laporan keuangan bisa dipertanggungjawabkan atau tidak," jelasnya. Sebab, kata Nuh, sekolah selama ini mendapat suntikan dana dari APBN, APBD maupun partisipasi masyarakat.
Jamak diketahui, kendati mendapat subsidi besar dari pemerintah, sekolah berlabel RSBI kerap menarik partisipasi masyarakat dalam jumlah besar. Kebijakan pemerintah yang mengizinkan adanya partisipasi dari masyarakat itu kerap diterjemahkan salah kaprah. Beberapa RSBI di Surabaya pun memungut dana pendidikan dengan jumlah besar.
Kriteria kedua adalah academic achievement. Yakni, capaian akademik yang diraih sekolah. Misalnya, prestasi ujian nasional (unas). "Apakah sudah di atas rata-rata nasional atau belum," ujarnya. Termasuk, berbagai prestasi akademik lain. Misalnya, jumlah siswa yang melanjutkan pendidikan ke luar negeri.
Namun, Nuh menegaskan, tujuan RSBI bukan semata agar siswa melanjutkan sekolah ke luar negeri. RSBI hanya sebagai tiket agar siswa lebih mudah melanjutkan pendidikan ke luar negeri.
Ketiga, rekrutmen siswa baru. Jamak diketahui, model rekrutmen yang dilakukan sekolah beragam. Misalnya, menggelar berbagai macam tes. Itu bakal menjadi pertimbangan evaluasi.
Terakhir, rasio guru, laboratorium, dan school sister. "Apakah sudah memenuhi persyaratan atau belum," tuturnya. Misalnya, jumlah guru yang menguasai bahasa Inggris sudah sesuai persyataran atau belum. Termasuk, fasilitas pendidikan harus berstandar internasional.
Dari empat kriteria itu, kata Nuh, Kemendiknas akan menelitinya satu per satu. Salah satu instrumen evaluasi adalah melalui anggaran pendapatan dan belanja sekolah (APBS). Itulah sebabnya, evaluasi dilakukan Juli. Sebab, pemerintah menunggu sekolah selesai menyusun APBS. "Biasanya pada awal tahun ajaran baru APBS diajukan," jelas mantan rektor ITS itu.
Dari APBS itu, dapat diketahui perencanaan yang dilakukan sekolah. Termasuk, apakah pendapatan yang diperoleh sebanding dengan pengeluaran untuk program pendidikan. "Kita juga tahu apakah ada pungutan yang berlebihan atau tidak," jelas Nuh.
Agustus mendatang, kata Nuh, Kemendiknas merilis hasil evaluasi itu. "Dari sekitar seribu RSBI itu bisa diketahui mana yang harus lanjut dan mana yang tidak. Kami tidak akan memaksakan diri jika sekolah yang tidak memenuhi kualifikasi untuk diteruskan," paparnya. Nuh menegaskan, sekolah yang ditunjuk sebagai RSBI tak selalu ekuivalen menjadi SBI. Sebab, Kemendiknas tidak mementingkan segi kuantitas, tapi kualitas.
Adanya evaluasi mengenai pelaksanaan RSBI di Surabaya juga dibenarkan Kepala Dinas Pendidikan (Kadispendik) Surabaya Sahudi. Namun, menurut dia, kualitas RSBI di Surabaya saat ini cukup mumpuni. Sebab, Dispendik Surabaya sebagai pihak yang mengelola RSBI di Kota Pahlawan ini sudah melakukan banyak hal untuk meningkatkan kualitas institusi pendidikan berbasis teknologi informasi dan komunikasi (TIK) itu.
Upaya peningkatan kualitas itu dilakukan Dispendik melalui empat hal. Yakni, bidang infrastruktur, mutu pendidik, proses kegiatan belajar mengajar (KBM), serta manajemen. Segi infrastruktur disuplai melalui pemberian bantuan peralatan belajar mengajar, seperti laptop dan LCD.
Mutu pendidik, terutama kemampuan berbahasa Inggris guru matematika dan IPA, ditingkatkan lewat media sertifikasi, serta kursus-kursus bahasa Inggris. Kursus-kursus itu diadakan secara mandiri oleh sekolah maupun Dispendik yang bekerja sama dengan Universitas Negeri Surabaya (Unesa). Proses KBM dan manajerial sekolah juga terus dibina dan ditingkatkan oleh Dispendik.
Dengan segala upaya itu, Sahudi optimistis sekolah-sekolah RSBI di Surabaya tidak akan tergusur oleh evaluasi yang dilakukan Kemendiknas. "Semuanya memang bergantung pada evaluasi Kemendiknas. Tapi, secara kualitas, saya optimistis mampu bertahan semua. Termasuk untuk SMK," katanya.
Sahudi mengakui, keberadaan RSBI mendatangkan sejumlah konsekuensi bagi Dispendik Surabaya dan dinas pendidikan di kota-kota lain sebagai pihak pengelola. Terutama, mengenai besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk operasional.
Penyelenggaraan RSBI yang berbasis IT memang memakan biaya besar untuk penyediaan fasilitas seperti internet, listrik, dan infrastruktur seperti LCD. Apalagi, di Surabaya, biaya pendidikan kini hanya dikenakan kepada siswa SMA, sedangkan untuk SD, SMP, dan SMK negeri seluruhnya gratis.
Untuk siswa RSBI yang kurang mampu, biaya pendidikan memang di-cover oleh dana Bopda. Namun, siswa RSBI SMA dikenai biaya yang hampir dua kali lipat dari siswa SMA reguler. Belum lagi, siswa SMA RSBI yang ingin mendapat sertifikasi luar negeri harus mengeluarkan biaya sendiri, yang besarnya tak mungkin sanggup ditanggung siswa yang kantongnya tak bermeter-meter tebalnya.
"Ya, memang itu konsekuensinya. Kalau ingin benar-benar berstandar internasional, harus keluar uang. Kalau Dispendik diminta meng-cover biaya sertifikasi itu, jelas tidak mungkin," ungkap Sahudi.
Karena itu, Sahudi menegaskan agar RSBI tak dijadikan sarana mengejar gengsi. Sebab, masuk RSBI bukan berarti memiliki kasta tertinggi. Justru siswa harus belajar lebih keras dan orang tua harus bisa menyediakan materi yang mumpuni kalau benar-benar ingin anaknya menyandang predikat "setara dengan luar negeri". "Salah besar kalau hanya cari gengsi. Karena itu, sejak penerimaan siswa baru, orang tua dan siswa harus memikirkan benar-benar kalau ingin masuk RSBI," tegasnya.
Selasa, 20 Juli 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar