Profesionalisme adalah sebuah kata yang tidak dapat dihindari di era globalisasi yang semakin menguat dewasa ini. Persaingan yang semakin kuat dan proses transparansi di segala bidang merupakan salah satu ciri utamanya. Guru yang profesional harus mampu melakukan terobosan dan perubahan, tak terkecuali perubahan paradigma dalam mengajar.
Ketika ide sertifikasi pendidik dikomunikasikan ke publik, banyak kalangan merespon positif rencana program sertifikasi ini. Bagi para pendidik, sertifikasi ini disambut antusias karena sebagaimana dijanjikan pemerintah, sertifikasi bisa menjadi awal meningkatnya kesejahteraan mereka. Dengan demikian, sertifikasi ini bisa menjadi momentum yang baik bagi para pendidik kita untuk ‘memperbaiki nasib’ mereka. Bagi kelompok pemerhati pendidikan nasional, sertifikasi ini juga ditunggu, karena kalau dilaksanakan dengan benar, bisa menjadi starting point untuk meningkatkan kualitas pendidikan nasional.
Secara teori, sertifikasi meliputi segala penilaian terhadap tenaga pendidik mulai dari pengalaman mengajar minimal empat sampai lima tahun, jenjang pendidikan minimal S1, melengkapi berkas portofolio serta mengikuti training selama hampir dua minggu. Lalu dengan berbagai persyaratan diatas, apakah ketika seorang guru telah lulus sertfikasi bisa dikatakan sebagai guru yang profesional?
Faktanya, banyak guru yang menjadikan sertifikasi ini sebagai ajang mengejar "uang gratis" dari pemerintah yang diberikan setelah lulus portofolio dan mengikuti training. Akhirnya, tujuan utama dari sertifikasi yang digarap pemerintah mulai kabur. Banyak guru yang dengan bangganya mengumpulkan sertifikat "aspal" asli tapi palsu (asli didapat dari penyelenggara kegiatan tetapi palsu karena tidak ikut serta di dalamnya). Padahal jika isi kegiatan/seminar tersebut bisa memberi kontribusi nyata bagi pendidikan, mengapa mereka hanya ingin mendapatkan sertifikatnya saja?apakah pola berfikir seperti ini yang bisa membuat bangsa lebih maju di tangan para pendidiknya?
Sebaiknya guru yang tidak lulus sertifikasi tidak perlu didiklat atau dipaksakan lulus. Selain biaya yang dikeluarkan pemerintah sudah cukup besar untuk proyek pelatihan, guru akan seenaknya maju sertifikasi tanpa bekal yang cukup, yang penting lulus sertifikasi walau kena diklat. Ini mirip anak yang tidak lulus Ujian Nasional, lalu disuruh ikut ujian susulan. Sebaiknya pemerintah membuat aturan guru yang maju sertifikasi harus siap segalanya, baik data, sertifikat, karya tulis, dll. Bila tidak siap, guru tidak usah maju sertifikasi dan harus mempersiapkan diri dulu dengan matang (fit and proper test). Kalau memang tidak lulus ya tidak lulus, tidak perlu di diklat. Bila tidak lulus guru bisa maju tahun yang akan datang. Jalur portofolio tidak selamanya jelek. Bagi guru yang benar-benar berkualitas jalur portofolio bisa digunakan untuk unjuk kemampuan guru. Banyak guru yang masih jujur. Program sertifikasi guru juga tidak menjamin guru jadi profesional. Ukuran profesional bukan dilihat dari sertfikasi/selembar sertifikat pendidik, tapi banyak aspek yang mempengaruhi. Di lapangan banyak guru yang berkualitas walau tidak ikut sertifikasi. Jadi jangan mengatakan bahwa guru yang tidak ikut sertfikasi bukan guru profesional. Ukuran profesional untuk guru di Indonesia masih jauh dari harapan, karena pendidikan di negeri ini banyak dikaitkan dengan kepentingan proyek, dan ujung-ujungnya uang. Jujur saja di lapangan banyak guru setelah ikut sertifikasi bukan tambah baik mengajarnya, bahkan ada yang seenaknya sendiri dalam mengajar, yang penting dapat TPP/uang tunjangan (fee and property). Bahkan yang lebih memprihatinkan uang tunjangan (TPP) digunakan untuk kepentingan yang tidak menunjang profesinya, misalnya untuk bayar utang, beli sepeda motor, nyicil rumah, dsb. Memang tidak ada larangan orang menggunakan uang tunjangan (TPP), tapi seharusnya tunjangan profesi diberikan dalam rangka untuk membiayai kegiatan guru dalam mengajar yang memerlukan dana banyak. Mustahil pendidikan yang berkualitas tanpa biaya.
Bukankah dana yang diberikan seharusnya digunakan untuk menunjang sarana dan prasarana guru dalam mengajar? Jika setiap guru yang disertifikasi membeli laptop dari dana belasan juta tersebut maka program one teacher one laptop akan segera terealisasi dan kegiatan belajar dengan multi media bisa diterapkan sehingga tidak monoton dan klasikal. Namun kenyataannya, sudah berapa banyak guru yang benar-benar menggunakan uang tersebut untuk kepentingan pendidikan? Kalau sudah begini, apakah sertifikasi efektif meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia? Semoga kita bisa mencari solusi terbaiknya.
0 komentar:
Posting Komentar