Tak terasa sebentar lagi tahun ajaran baru akan segera dimulai. Para orang tua akan disibukkan beberapa hal yang berkaitan dengan kepentingan putra-putri mereka mulai dari memasukkan mereka ke sekolah baru dari jenjang taman kanak-kanak, dasar hingga melanjutkan ke jenjang sekolah tinggi. Salah satu contohnya adalah memasukkan mereka ke sekolah yang menggunakan label ’internasional’. Banyak orang tua berharap putra-putri mereka dapat memperoleh kesempatan dan fasilitas yang lebih dibandingkan dengan sekolah konvensional sekarang ini. Sekolah berlabel internasional, baik Sekolah Internasional, Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional, Sekolah Bertaraf Internasional dan Sekolah/madrasah Plus apapun namanya, kini muncul bak cendawan di musim penghujan. Bukan hanya pengelola sekolah swasta, sejumlah sekolah menengah pertama (SMP) dan sekolah menengah atas (SMA) negeri juga membuat kelas internasional,
Tidak sedikit sekolah yang mengaku sebagai sekolah bertaraf internasional dengan bekerja sama dan mengadopsi kurikulum dari Singapura, Australia, Amerika, Inggris maupun dari negara lainnya, dan tidak ketinggalan staf pengajar juga diasuh orang asing. Sebelumnya, Kementerian Pendidikan Nasional telah mengatakan akan melakukan pembenahan terhadap sekolah internasional, menyusul terbitnya Peraturan Pemerintah No 17 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan dan Pendidikan. Pemerintah mengungkapkan, sekolah yang terkait label internasional ada tiga kelompok, yaitu sekolah internasional, rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI), dan sekolah bertaraf internasional (SBI).
Dijelaskan pula bahwa sekolah internasional dapat berupa sekolah swasta maupun negeri. Sekolah internasional sebenarnya untuk mengakomodasi kepentingan warga negara asing, seperti Jakarta International School dan Korean International School. Namun, sekolah ini kemudian dibuka untuk orang Indonesia, berikut guru dan tenaga administrasi dari Indonesia, serta mengakomodasi sejumlah kurikulum khas Indonesia. Pemerintah mengingatkan sekolah internasional untuk bersikap jujur dan tidak membodohi masyarakat mengenai label internasionalnya. Di lain pihak, masyarakat diminta agar tidak mudah terpikat dan terbujuk dengan sekolah berlabel internasional. Jangan hanya mengedepankan satu promosi institusi pendidikan saja. Jika termakan promosi, mereka bisa kecewa.
Ada syarat minimal yang harus dipenuhi sekolah untuk mendapatkan taraf internasional. Untuk mencapai ke SBI harus memiliki sejumlah guru berkualifikasi pendidikan S-2 untuk beberapa bidang studi tertentu. Salah satunya adalah kemampuan guru-gurunya dalam penguasaan bahasa Inggris dqn IT. Karena proses pembelajarannya menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar untuk enam mata pelajaran, kecuali Bahasa Indonesia. Berdasarkan survey pemerintah, Setiap tahun Depdiknas meranking nilai Test Of English For International Communication (TOEIC) para guru di sekolah-sekolah RSBI. Hasilnya memang belum memuaskan, sebab dari ratusan sekolah rintisan berstandar internasional di Indonesia, baru sedikit yang nilainya memuaskan. Selain itu, prestasi siswa juga perlu diperhitungkan. Penulis perlu menggarisbawahi bahwa namanya sekolah berlabel internasional, prestasi juga harus go internasional. Sangat disayangkan sekali bilamana prestasi siswa dan guru sama seperti sekolah konvensional atau standart nasional biasanya. Sekolah berlabel internasional hendaknya bisa memberikan nilai plus bagi pemerintah dan masyarakat. Alih-alih biaya yang tinggi, fasilitas memadai, siswa pintar, perhatian pemerintah dan masyarakat yang besar jangan sampai menjadi gap (pemisah) antara sekolah orang kaya dan miskin.
Kita bisa mengambil kebijakan pemikir pendidikan di Jepang. Dimana Jepang sama sekali tidak mengenal sekolah internasional maupun nasional. Menurut pakar pendidikan disini, pendidikan bukanlah barang elit yang harus diberikan hanya kepada sebagian anak yang pandai saja. Tetapi pendidikan adalah sebuah hak yang harus diterima oleh semua anak dengan kualitas yang sama. Memang mereka mengakui bahwa anak yang pandai perlu difasilitasi secara lebih baik, tapi bukan mendirikan sekolah berstandar internasional dengan mengikuti negara lain.
Kesimpulannya, dengan adanya sekolah berlabel internasional pihak pengelola hendaknya tidak cuma mengharapkan untungnya saja dari biaya sekolah yang mahal itu tapi juga aspek kognitif keindonesiannya harus ditingkatkan, para siswanya hendaknya dipola untuk tetap menjaga identitas bangsanya dengan mencintai tanah airnya sebagai pendorong tumbuhnya identitas sebagai orang Indonesia yang kental dengan pendidikan kewarganegaraan, agama, adat istiadat dan budaya, bahkan bisa membendung ketimpangan pendidikan antara pelajar dari keluarga kaya dan miskin.
0 komentar:
Posting Komentar